3 Alasan Ahok Tidak Bisa Jadi Cawapres Jokowi
Ahok merupakan sosok fenomenal. Kehadirannya sebagai pemimpin Jakarta sangat tidak biasa. Di negara yang menganut adat ketimuran, sopan dan santun, itu semua tidak dilakukannya. Dia lebih sering terlihat bersikap keras dan menantang lawan-lawan politiknya. Lebih dari itu, dia adalah golongan minoritas, keturunan China dan nonmuslim. Ibarat masakan, Ahok ini nasi padang, lengkap dan semua ada.
Hari ini, lebih dari setengah tahun sudah Ahok mendekam di dalam penjara, menjalani hukuman atas kasus penistaan agama. Namun namanya terus dibicarakan oleh lawan maupun relawannya. Dan saya pikir ini tidak pernah terbayangkan oleh pengamat ataupun lawan politiknya. Sama seperti saat Ahok dipenjara, hampir di semua daerah melakukan aksi damai untuk Ahok secara serentak. Saya yakin aksi itupun tidak pernah disangka-sangka oleh banyak orang.
Namun, dari semua catatan sepak terjang Ahok, yang tetap ramai dibicarakan dan disindir-sindir sekalipun sudah di dalam penjara, pada akhirnya saya tetap berpikir bahwa Ahok sudah selesai dengan karir politiknya. Sehingga kita sudah tidak perlu lagi mendorongnya sebagai calon wakil Presiden mendampingi Jokowi pada 2019 nanti.
Orang seperti Ahok ini adalah tipe pekerja atau eksekutor. Dia akan lebih cocok sebagai menteri ataupun ketua KPK. Nyali dan kepatuhannya terhadap hukum sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi kalau disandingkan sebagai Cawapres, itu tidak akan berhasil. Mengapa?
Pertama, Ahok merupakan sosok yang tidak kenal kompromi. Maunya berantem. Sementara seorang Wapres tidak bisa seperti itu. Dia harus sosok yang bisa menyelesaikan segala kepentingan dan urusan negara dengan damai dan tenang. Karena apapun yang dikatakannya akan sangat berpengaruh secara nasional dari berbagai sektor. Berbeda dengan menjadi Wagub yang masih bisa sikut kanan kiri.
Kedua, di 2019 nanti Ahok akan keluar sebagai mantan napi. Meskipun dia sudah menjalani hukuman dan selesai dengan kasusnya, tetap saja sebagian orang akan melihatnya sebagai penista agama. Sehingga hal ini tidak bisa membuatnya langsung maju sebagai Cawapres.
Ahok perlu melakukan sesuatu dulu. Misal sebagai menteri yang sukses atau ketua KPK yang berhasil, guna menghapus atau menutupi sentimen negatif tentang penista agama. Baru setelah itu mungkin di 2024 dia bisa maju sebagai Capres maupun Cawapres melawan orang-orang baru seperti AHY, Anies ataupun Ridwan Kamil.
Ketiga, Ahok non parpol. Dalam sistem demokrasi yang kita miliki, suara atau kekuatan politik dalam menjalankan pemerintahan adalah sesuatu yang wajib ada. Sekalipun nantinya Ahok langsung masuk ke dalam partai politik dan menjadi kader, dia juga belum akan punya kekuatan politik.
Kita bisa saja berdebat soal ini dan beranggapan bahwa Jokowi yang cuma kader saja jadi Presiden. Tapi coba lah lihat dengan teliti, bukankah di awal-awal pemerintahannya Jokowi terlihat cukup kewalahan? Beruntung beliau memiliki Wapres politisi kawakan seperti JK. Yang mampu mengawal dan mengamankan politik nasional dengan langkah-langkah senyapnya. Sekalipun JK bukan ketua partai, tapi kekuatan politiknya sudah pasti jauh lebih berpengaruh daripada ketum Golkar saat itu, Abu Rizal Bakrie.
Dari 3 faktor ini, sekalipun Ahok taubat nasuha dan tampil kalem, atau bahkan masuk Islam sekalipun, dia juga belum bisa memenuhi faktor kebutuhan politiknya. Sehingga dengan kenyataan ini saya rasa kita tidak perlu lagi memaksakan Ahok menjadi Cawapres Jokowi.
Kita sepakat bahwa Ahok mampu bekerja dan memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Kita sepakat bahwa Ahok adalah figur pimpinan yang dibutuhkan negara ini. Dan kita mungkin akan sepakat tentang banyak hal tentang Ahok. Namun kita juga harus memahami bahwa usulan ataupun desakan agar Ahok disandingkan dengan Jokowi justru adalah hal yang paling diinginkan oleh lawan politik dan kelompok radikal sebelah. Karena semakin kita mendorong Ahok sebagai Cawapres Jokowi, semakin besarlah kemungkinan negatifnya.
Jika usulan ataupun dorongan terhadap Ahok sudah terlanjur dilakukan, lalu kemudian batal terlaksana, maka para pendukung dan fans Ahok pasti akan ada yang kecewa. Atau minimal akan ada orang yang dibayar untuk bercerita tentang kekecewaannya yang pada ujungnya mengajak sesama fans Ahok untuk menolak Jokowi. Jadi terpecahlah kekuatan suara yang seharusnya dimiliki oleh Jokowi.
Hal ini sudah terjadi dan kita lihat bersama-sama di Pilkada Jakarta. Pendukung Jokowi ada yang mendukung Anies karena tidak suka Ahok. Sebaliknya pendukung Ahok ada juga yang menghujat habis Jokowi dan menyerukan geruduk istana karena Ahok akhirnya dipenjara.
Saya pikir kita semua tidak ingin hal ini terjadi. Kita sudah kehilangan sosok pemimpin idola seperti Ahok, jangan sampai kita juga kehilangan pemimpin muslim dan sabar seperti Jokowi. Di 2019 nanti kita tetap akan melawan kelompok yang sama, kelompok yang menampung suara-suara radikal dan teroris.
Bagaimanapun catatan ini hanyalah catatan seorang warga biasa, seorang penulis Seword yang sama derajatnya dengan penulis-penulis yang lain. Teman-teman bisa setuju, bisa juga tidak. Tapi semoga apapun keputusan dan sikap kita, semuanya memiliki alasan yang logis dan jelas. Begitulah kura-kura.
Tidak ada komentar
Posting Komentar