Kemunduran DKI Jakarta Dibawah Anies-Sandi, Mengapa Anies-Sandi tidak Diciduk Ketika Melanggar Aturan?
Semua orang di zaman ini bisa dengan mudah menilai kinerja pemimpin dengan catatan otaknya masih digunakan dengan baik dan benar. Di era digital ini, tidak ada yang dapat ditutup-tutupi, informasi dengan mudah menyebar, meskipun tantangannya adalah bagaimana kita bisa memilah mana yang hoax dan mana yang bukan.
Begitu juga jika kita mau menilai DKI Jakarta dalam kepemimpinan Anies-Sandi mengalami kemajuan atau kemunduran, anda tidak perlu repot-repot untuk kuliah sampai S3, karena semua dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak perlu mikroskop.
Kemunduran yang dapat dilihat dengan mata telanjang tersebut di antaranya adalah mengenai Tanah Abang yang kembali semrawut, padahal di masa Ahok, kawasan Tanah Abang sudah dibereskan. Tetapi, entah mengapa di zaman Anies yang tinggal melanjutkan kebijakan baik yang sudah ada saja tidak bisa.
Mereka terlihat seperti takut kepada tekanan preman yang menguasai Tanah Abang. Itu semua sudah menjadi rahasia umum, bahwa kesemrawutan di Tanah Abang lantaran didukung oleh para preman serta oknum pejabat yang diuntungkan.
Selain kembalinya kesemrawutan Tanah Abang, akses informasi di balai kota pada zaman Anies-Sandi dipersempit. Berbeda dengan zaman Ahok, di mana awak media dapat dengan mudah melakukan wawancara, bahkan bisa menunggu di depan pintu ruangan saat rapat di balai kota DKI diadakan. Ruangan yang biasa untuk menunggu awak media pun di zaman Anies-Sandi dihilangkan.
Transparansi seperti sudah hilang di DKI Jakarta. Padahal, transparansi adalah hal yang paling penting, supaya masyarakat dapat mengetahui kebijakan-kebijakan serta kinerja pemimpin yang dipilihnya. Selain itu, transparansi mencegah adanya kesepakatan jahat. Itu karena semua mata dapat mengawasi segala tindakan, sehingga jika ada hal-hal yang mencurigakan dapat segera ketahuan.
Jika otak anda genap dan tidak kurang satu ons, maka sudah pasti menyetujui transparansi yang dapat disebarkan melalui awak media yang ada. Karena media-media berfungsi sebagai perantara informasi kepada masyarakat. Jika tidak ada kesepakatan jahat, mengapa meski takut dengan transparansi?
Bukan hanya transparansi yang ditutup lantaran tidak memberi ruang yang cukup untuk awak media melakukan ekpose kegiatan di balik ruangan DKI Jakarta, tetapi bentuk transparansi zaman Ahok melalui upload video rapat juga ditiadakan. Ini sudah jelas menimbulkan berbagai pertanyaan, ada apa dengan DKI Jakarta zaman Anies-Sandi?
Seperti yang kita ketahui bersama, dengan Anies-Sandi tidak melakukan upload video rapat ke youtube, maka mereka sudah melanggar peraturan yang berlaku. Hal itu tertuang dalam pergub Nomor 159 Tahun 2016 tentang Penayangan Rapat Pimpinan dan Rapat Kedinasan Pengambilan Keputusan Terkait Pelaksanaan Kebijakan pada Media Berbagi Video.
Pada poin ke dua dari pasal pergub tersebut tertulis tujuan penayangan video untuk menjamin hak warga agar bisa mengetahui proses kebijakan publik, pengambilan keputusan, dan alasannya.
Selain itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat dan pengambilan keputusan kebijakan publik. Penayangan video rapat juga bertujuan menciptakan pemerintahan yang transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu seperti yang dilansir laman kompas.com.
Pertanyaannya, apakah peraturan yang dibuat itu hanya berlaku untuk rakyat jelata seperti saya? Sehingga pemimpin seperti Anies-Sandi boleh menabrak peraturan yang ada? Sungguh luar biasa negeri ini. Apakah peraturan itu tajam ke bawah tumpul ke atas? Menurut saya, ini sangat memalukan dan keterlaluan.
Baca juga : https://kabarberita168.blogspot.com/2017/12/reuni-212-mempersiapkan-reuni-banjir-12.html
Jika saya tadi mengatakan, hanya orang yang otaknya kurang satu ons yang tidak menyetujui transparasi dalam pemerintahan. Mungkin itu tidak berlaku bagi Sandi, meskipun dia secara langsung tidak menyetujui transparasi karena menolak meng-upload rapat ke youtube. Mengapa saya katakan itu tidak berlaku terhadap Sandi? Karena dia pintar, dengan tidak adanya transparansi maka pemerintahan Anies-Sandi tidak banyak yang mengawasi. Apapun alasannya, itu hanyalah hal yang dibuat-buat. Jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa meski takut? Jika seorang ABG mesum di kamar kos, itu wajar pintu ditutup supaya tidak digrebek warga.
"Kami enggak mau mem-push sesuatu yang kami khawatirkan bisa memecah belah warga. Ini sudah memasuki Natal dan Tahun Baru, gunakan kesempatan ini untuk merangkul semua," kata Sandiaga.
"Jangan mengangkat isu-isu yang berpotensi menjadi cibiran, ejek mengejek antara masyarakat," tambah Sandi, seperti yang dilansir laman kompas.com.
Untuk ketakutan akan cibiran, ejek mengejek antara masyarakat, itu sungguh lucu. Mungkin tepatnya, Anies-Sandi takut diejek karena saat rapat banyak terjadi kekonyolan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar